Pages

#cerpen-jingga


JINGGA



Bukankah kita selalu bersama. Bermain dibawah senja. Membuat siluet berlatar langit jingga dengan suka ria. Saling menatap, lalu tertawa.

***

“Apa kau suka ini?” terlihat lengan seseorang dari balik tubuhku. Menyodorkan sebuah ice cream stroberi tepat didepan mataku. Persis.

“tidak.” Jawabku dingin seraya pergi meninggalkan tempat pengasingan diri. Dibawah pohon linden.

Aku melangkah nyaris berlari kecil dengan tekad, pokoknya jangan sampai bertemu lagi dengannya. Sudah bekali-kali ini terjadi. Ketika aku menikmati kesendirian ditempat pengasinganku, ia selalu hadir. Ada saja yang dibawa. Berkali-kali juga aku menjawab tidak dan pergi. Bahkan aku selalu kabur tanpa melihat wajahnya dan dia pun begitu, selalu muncul dari belakang tanpa menampakan wajah. Ini membuat pikiran ku terganggu. Tapi tak ku ambil pusing. Dan kuputuskan setelah hari itu aku tidak ketempat itu lagi. Yang aku suka, berdiam diri dibawah pohon linden.

Sebulan berlalu. Move on dari pohon linden. Aku mendapat  tempat baru. Sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari rumah. Belum banyak orang yang berkunjung. Bisa dihitung jari malah. Walaupun belum banyak pohon dan rumput karena masih baru. Tapi cukup aman dan nyaman untuk seorang yang introvert seperti diriku. Taman Bambu. Dengan segera aku mencari posisi yang rindang untuk menghabiskan halaman novelku yang tinggal satu bab. Seketika aku girang tak ketulungan. Aku bagai bertemu sesuatu yang amat kurindukan. Pohon linden ku ternyata ada di taman ini. Aduhai, senang rasanya. Langsung kutaruh tas dan duduk dengan posisi wenak. Aku mulai membaca.

“hai, linden!” seseorang teriak dari jarak yang cukup jauh. Aku mendengarnya, namun tak ku gubris. Cuek. Karena sapaan itu bukan aku.

Aku sibuk berkutat dengan buku novel ku. Menelusuri lebih dalam tiap kata dan kalimat, lembar demi lembar. Sampai akhirnya pundak ku ditepuk.

“Mengapa kau tak menengok saat ku panggil, linden?” sekarang kalimat itu memnyadarkanku bahwa linden yang dia teriaki itu aku.

Aku mengernyitkan dahi, menengok kesumber suara. Aku terkesiap. Oh tuhan! Orang aneh macam apalagi sekarang. Bagaimana tidak terkejut, orang itu memakai pakaian yang aneh. Sebuah kostum ala ala joker. Aku yang kaget refleks mendorong dan memukulnya dengan tas. Sampai-sampai orang aneh itu tak berdaya.

“kau itu siapa sih?!” tanya ku dengan suara tinggi

“uh.. uh...” eluhnya kesakitan

“apa sih orang aneh. Diam disitu dan jangan menguntit lagi!” setelah itu aku bergegas pergi. Namun langkah ku terhenti ketika ia meminta tolong.

“tolong... tolong... jangan pergi. saya ingin bicara dengan mu, linden” dia memohon.

“maaf, saya bukan linden. Mungkin anda salah orang.” Jawabku membelakanginya.

“Tidak, bukankah kita selalu bersama. Bermain dibawah senja. Membuat siluet berlatar langit jingga dengan suka ria. Saling menatap, lalu tertawa?” ucapnya seraya berdiri.

Mendengar kalimatnya barusan aku kaget. Kalimat itu sama persis dengan kalimat yang kuuntai untuk mengenang seseorang yang sangat berarti. Kalimat itu yang sampai sekarang tidak pernah absen mondar mandir di pikiranku, dibenakku.  Tapi mana mungkin. Tidak mungkin orang itu dia. Dia sudah mati.

Buatku yang seorang introvert, dia bagaikan anugerah yang diberi tuhan. Sampai akhirnya yang kuingat tuhan mengambilnya. Aku yakin saat itu dia benar-benar sudah mati.

Sebelum kematianya itu kami bercanda. Setiap sore kami datang ke bukit untuk menyaksikan jingga dilangit Senja. Tepat dijarak satu meter sebelum ujung tebing, ada sebuah batu besar disana. Permukaannya nyaris rata sehingga mudah ditapaki. Kami senang bergiliran naik ke batu itu memperagakan sesuatu ketika jingga tiba untuk memunculkan gambar siluet. Sampai suatu hari, Saking senangnya ia terpeleset jatuh dari batu itu, jatuh kebawah tebing. Tuhan menjadikan aku saksi yang utuh pada peristiwa itu. jadi, Mana mungkin orang yang jatuh dari tebing tidak mati?

Sungguh, pikiran ku sangat kacau. Aku tidak percaya.

“tidak mungkin, kau...” aku yang tidak percaya hal itu lari tergopoh-gopoh. Tanpa sadar air mata ku mengalir deras.

Kau tidak mungkin kembali lagi. Kau sudah mati.

***

Kejadian itu membuatku terbayang sampai tak bisa tidur, Resah. Kaki ku melangkah, meraih foto dalam bingkai di sudut meja. Ada dua orang dalam foto itu. Satu perempuan dan satu laki-laki. Wajahnya cemong sebab riasan tanah merah. Kumal penuh keringat. Saling merangkul dengan seringai tiga jari. Aku terisak.

“kaukah, jingga....” Lama tak berani ku sebut nama mu. Ini pertama kalinya lagi setelah lima tahun kelenyapan mu. Semakin terisak, semakin sesak. 

Keesokan harinya,  sore hari aku kembali ke taman bambu. Aku mengulangi yang kemarin aku lakukan. kali ini berharap orang itu datang kembali. Kupangku gambar dirinya yang kupunya.

“Aku rindu... menggenggam tangan kasar hangat itu. Menatapnya dan tertawa bersama.”

“Taukah kau? Selama ini aku sengaja membuat lelucon agar kau tertawa. Aku sengaja melakukan hal konyol agar kau tersenyum.”

“lesung pipi mu. Karena itulah aku membuatmu tesenyum, tertawa. Aku menyukai saat-saat si lesung  itu hadir bersama senyummu. Meski kata buku yang kubaca lesung pipi adalah sebuah kelainan, tapi aku menyukainya.”

“Kelainan yang mempesona.” Kata ku dalam hati. Ah, Setiap diingat, aku tak berdaya.

Aku mendongak ke atas pohon linden yang rindang. Daunnya hijau muda. Jika diperhatikan, daun linden ini bergerigi dan seperti bentuk hati. Inilah mengapa aku menyukai linden, nyaris berbentuk hati. Gerigi yang mengelilingi bentuk daun itu seperti gambaran hatiku, yang sama sama diselimuti duri. Menyakitkan.

Aku baru sadar sudah tiga jam menunggu. Langit sudah berubah warna. Cerah menjadi redup karena malam akan datang. Sudahlah, kali ini dia tidak datang. Aku mulai berkemas. Ku putuskan untuk pulang saja. Ketika setengah beranjak, kudapati secarik kertas yang terselip di batang pohon. Bukan terselip, tapi sengaja dibuat celah untuk menaruh kertas ini.

“apa ini?” tanyaku.

“siapa gerangan yang berani menyakiti batang pohon lindenku hanya untuk menyelipkan kertas ini? Ck.” Umpatku seraya mengambil kertas itu perlahan. Lalu ku buka. Disana tertulis nama ku.

“nja...” aku bergumam. Itu panggilanku dulu.  Lalu aku membaca isinya. Sedikit terkejut. Ini dari dia. Jadi ucapan yang keluar dari mulutnya tempo hari bukan kebetulan. Dia benar tahu tempat dimana kami bermain dikala sore hari tiba. Bukit.

“Besok. Aku akan ada di sana ketika sore tiba. Menyaksikan  jingga.” Sempurna tertulis dalam kertas itu.

“Aku harus ke bukit, besok.” Umpatku. Buru-buru kulipat surat itu dan kusimpan.

***

Aku harus sampai sana sebelum senja. Harus. Untuk membuktikan benarkah orang itu dia. Rencanaku, sampai sana aku akan mengumpat untuk menyaksikan kedatangannya, dan memperhatikan dari jauh saja. Baiklah.

Dengan mantap kukayuh sepedaku menuju puncak bukit. Sepanjang perjalanan ada bayangan kami dulu, ketika berlomba sepeda sampai puncak. Suara riang gembira antara kami. Berusaha saling menyelak agar bisa berada didepan. Siapa duluan sampai puncak bukit,  dia yang mulai pertunjukan siluet.  Dulu dia yang mencetuskan ide ini. Aku pun menyukai idenya itu. Hingga menjadi permainan seru. Yang kami suka.

“jingga...” desahku sambil mempercepat kayuhan pedal ku.

Kayuhanku terhenti. Dari sini aku mulai melakukan rencanaku tadi. Kusandarkan sepeda pada batang pohon. Mulai dari sini aku akan berjalan. Tidak jauh lagi.

Aku berjalan pelan dengan pandangan was-was. Mengamati sekitar. Memastikan bahwa dia belum tiba. Kucari pohon dengan batang yang lebarnya bisa menutupi tubuh mungilku ini. Dan aku memulainya. Mengintip sesekali. Untung aku pakai baju yang tertutup. Kalau tidak sudah dipastikan aku menjadi satu-satunya pendonor darah disini. Banyak nyamuk.

Detik ke detik. Menit ke menit. Setengah jam berlalu. Satu jam sudah. Ah, dia tak juga datang. Sabar, aku akan menunggu lagi. Kakiku pegal, satu jam aku berdiri bersandar pada pohon ini, akhirnya tubuhku tersungkur. Tak perduli celanaku kotor. Dipikir lagi, baru kali ini aku sendirian ke bukit. Selama ini selalu bersamanya jika hendak ke bukit. Satu tidak ke bukit. Maka dua-duanya tidak ke bukit. Itu kesepakatan kami.

Oke, ini sudah dua jam. Dan jingga sudah datang bersama senja. Aku tak cukup sabar ternyata. Aku beranjak memutar badan dan kearah batu di ujung tebing.

Kuraba batu itu, kotor. Ada beberapa noda tanah merah disana. Mungkin ini bekas pijakan kaki kami. Sudah lima tahun, padahal. Ya, Sandal kami memang tidak pernah bersih. Selalu kotor oleh tanah merah. Mengingatnya membuatku tersenyum simpul. Kusapu dengan telapak tangan permukaan batu tersebut. Lalu duduk diatasnya. Menatap mantap jingga senja. Meski ada awan tipis yang hendak menutupinya, tetap saja jingganya tak terkalahkan. Mempesona.

Kutatap lamat-lamat sebelum kusudahi semua ini. Mungkin dia mempermainkan ku saja. Orang itu bukan dia. Jelas bukan dia. Kini aku semakin yakin.

“Aku tahu, kau bukan jinggaku.” Tegasku pasrah pada senja. Air mataku mengalir lagi. Ini lebih pahit ketimbang kalimat kenangan yang kuuntai.

“Tuhan... dia mempermainkan aku, kan?” benakku. Ini menyakitkan. Sangat. Rasanya tak karuan. Pecah sudah tangisku. Ini tangisan yang cukup lama kusimpan, pantas begini derasnya.

Tanpa sadar aku mencurahkan isi hatiku pada senja. Aku ingin senja tahu, bahwa aku sangat tersiksa. Kepergiannya membuat kebahagiaanku turut pergi bersamanya. Hilang dan berganti luka. Setiap hari. Selama lima tahun.

“Tidak cukupkah selama ini. Aku terluka setiap hari.” Lanjutku.

“karena aku dia mati. Aku terlena oleh kesenangan. Sampai saat itu aku tidak mengingatkannya agar berhati-hati. Aku penyebabnya. Karena aku.” Isakku semakin keras.

“jadi kumohon... beri aku kejelasan tentang semua ini....” Kuseka air mata yang mengalir deras.

“Dia itu siapaaa! Kenapa dia tahu semuanya... kenapa dia tahuuu!” marahku. Baru kali ini aku marah pada senja. Yang biasanya aku selalu tersenyum dan mengucap terima kasih padanya karna senja yang membawa jingga untuk kami bermain. Mungkin aku lelah. Aku, dengan perasaan ini mengungkap rasa yang ku pendam. Menyukai dia. Kuucap semua disini. Pikirku setelah ini tidak akan lagi kemari, maka dari itu kuungkap sekaligus sebagai tanda perpisahan.

“tak bisakah kau hadirkan dia, Tuhan. Aku amat rindu. Aku belum sempat bilang suka padanya. Bukan, bahkan aku mencintainya selama ini. Aku mencintai jingga-ku.” Ungkapku lirih seraya tertunduk lesu. Lima detik kemudian aku bangkit dan berbalik. Melangkah untuk pulang sebelum senja habis berganti malam. Aku kecewa.

Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang. Aku tertegun kaerna perkataannya.

“aku juga mencintaimu, nja...” ucap seseorang itu. yang sumber suaranya dari belakangku.

Pasti aku berilusi lagi. Jangan hiraukan, melangkah sajalah. Seperti yang sudah-sudah. Langkah kupercepat. Kini dia memanggil namaku. Bukan, tapi panggilan yang dia beri untukku.

“Senja!!!” teriaknya.

“Senja! Berbaliklah lihat kebelakang.” Pinta suara itu.

Aku yang tak tahan karna semakin jelas suaranya berbalik badan. Aku mematung dan diam. Kudapati siluet tubuh yang tinggi. Siluet itu juga terdiam. Kuhitung sepuluh detik siluet itu tidak bergerak. Benarkan aku berilusi lagi.

“Lihatlah, kau masih sama seperti dulu. Nja. Tidak berubah.” Bahkan siluet itu bisa bicara sekarang. Ini gila. Tapi setelahnya siluet itu melangkah. Aku yang melangkah mundur ditahan olehnya.

“Jangan takut. Tetap disitu. Akan kujawab semua yang ingin kamu ketahui.” Ucapnya seraya melangkah perlahan. Dan dalam setiap langkah ia menjelaskan.

“maaf, aku datang dengan cara yang tidak kau suka. Maaf bahwa aku menguntitmu akhir-akhir ini. Nja.” Lanjutnya. Wajahnya tidak tampak jelas karena disinari jingga senja. Aku penasaran akan wajah dibalik siluet itu. namun aku fokus mendengar penjelasannya.

“Aku sudah lama berada disini. Sejak tadi. Aku bersembunyi dibalik pohon untuk melihat dirimu. Dua jam aku menunggu akhirnya kau datang.” Jelasnya lagi. Lima detik setelahnya kalimatnya terhenti.

Oh, ternyata di amelakukan hal yang sama denganku. Bersembunyi.

“Maaf, aku membuatmu sedih selama lima tahun ini. Meninggalkanmu sendiri. meninggalkan tempat ini. Semuanya. Ketahuilah, aku tidak pergi. Aku selalu disisimu meski dari jarak jauh. Memandangmu. Sampai akhirnya kuberanikan diri menghampirimu yang sedang menyendiri ditempat favoritmu yang baru. Orang yang dari belakang menyodorkan sesuatu itu aku. Dan aku juga yang memakai pakaian joker ketika di taman. Hahaha, aku pula yang memanggilmu linden. Kau tahu?” kini jarak kami lima langkah dekatnya. Aku masih terpaku. Dia melanjutkan kalimatnya.

“Sungguh, maafkan aku. Nja.  Aku juga mencintaimu....” dia bilang mencintaiku juga. Tp aku belum yakin itu dia. Wajahnya belum terlihat jelas.

Dua langkah lagi. Aku merunduk tak berani melihatnya. Yang semakin mendekat.

“Aku masih hidup, Senja.” Mendengar ini aku kaget.

“Aku masih hidup, senja.” Diulangi lagi. Dan saat itu aku mendongak berani untuk menatap wajahnya, sosok yang berada didepanku. Aku terbelalak, aku terkejut. Aku menganga.

“aku mencintaimu, Senja.” Ucapnya sambil menyeringai.

Oh tuhan. Wajah itu kembali. Seringai yang amat kukenal. Tentunya lesung pipi yang tak asing itu.

“Jingga!” pekikku. Sontak kurengkuh tubuhnya. Makin kueratkan untuk meyakini ini nyata. Dan ya dia nyata. Dia balas pelukanku.

“Maafkan aku... Linden.” Ucapannya yang kali ini berhasil membuat lenganku melepasnya. Mungkin dia sesak. Sampai memanggilku linden supaya aku melepasnya. Ah.

“Aku Senja, bukan Linden.” Komentarku dengan wajah jutek.

“kurasa kau akan punya nama baru. Bukan senja lagi. Bagaimana?” dia menggoda.

“Tidak mau. Aku senang nama Senja...” kalimatku terhenti. Menatapnya lama.

“Dan aku menyukaimu, jingga.” Lanjutku melengkapi. Kini aku tersenyum.

“Tapi aku tidak menyukai Senja.” Dia membuatku kaget. Apa apaan pernyatannya barusan. Dia kembali menggodaku. Kutinju perutnya. Dia merintih.

“Aaaw! Hahaha aku bercanda. Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu, senja.” Perkataan yang membuatku lega.

Entah apa semua ini. Yang jelas sekarang aku senang dia nyata dan kembali. Itu berarti kami akan pergi ketempat ini setiap sore seperti dulu. Membuat siluet lagi. Bersuka ria lagi. Kami bersejajar, menoleh dan menatap. Kemudian tersenyum. Senyum berlesung yang kurindu kembali lagi.

Sebelum pergi kami menatap cahaya jingga pada senja yang hampir lenyap. Menatapnya lamat-lamat. Kami buat janji pada jingga senja. Janji ini rahasia, kami umpat dalam diam.

Kali ini aku akan berhati-hati. Agar dia tidak lenyap lagi. Janji Senja.
Aku akan terus bersamanya. Terus berseringai, mengobati lukanya. Janji Jingga.

Kami saling menggenggam.

Cahaya jingga itu keceriaan kami. Senja itu cara kami menciptakan kesenangan.

Jingga milik senja. Aku milik jingga.


0 komentar:

Posting Komentar